Bandara Dikelola Asing, Benarkah Menguntungkan Negara?
Oleh: Nadya Musmiatin
Deli Serdang, Sumatera Utara, bandara Kualanamu yang dikelola PT Angkasa Pura II (Persero) viral di media sosial karena dianggap dijual ke investor asing asal India.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam pernyataannya yang dikutip di Jakarta, pada Jumat, menyebutkan negara untung dari aksi yang dilakukan oleh anak usaha PT Angkasa Pura II tersebut. (kumparan.com)
"Angkasa Pura II mendapatkan dua keuntungan, yaitu dana sebesar Rp 1,58 triliun dari GMR serta ada pembangunan dan pengembangan Kualanamu sebesar Rp 56 triliun dengan tahap pertama sebesar Rp 3 triliun," ujarnya seperti dikutip dari Antara, Jumat (26/11/21).
Menurutnya, dana sebesar Rp 1,58 triliun bisa dipakai oleh Angkasa Pura II untuk pengembangan dan pembangunan bandara baru di Indonesia. "Ini namanya memberdayakan aset tanpa kehilangan aset, bahkan asetnya membesar berkali-kali lipat," jelasnya lagi.
Angkasa Pura II dengan GMR membentuk perusahaan patungan bernama PT Angkasa Pura Aviasi untuk mengelola Bandara Internasional Kualanamu. Angkasa Pura II sebagai pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 saham di Angkasa Pura Aviasi, sedangkan GMR memegang 49 persen saham. Biaya pembangunan bandara ditanggung dengan sistem build of take (BOT) oleh pihak investor swasta asing, dengan imbalan kebolehan mengelola bandara selama 25 tahun. Dan setelah 25 tahun, aset tersebut akan dikembalikan kepada Angkasa Pura II.
Jika kita analisa lebih dalam, pola pengelolaan bandara yang dilakukan oleh pihak swasta asing jauh dari kata menguntungkan bagi negeri ini. Sebab, pihak swasta asing tentu mengedepankan timbangan untung-rugi dalam proses pengelolaan, bukan kemaslahatan masyarakat dalam negeri. Sebab orientasi perusahaan apalagi swasta asing adalah untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya dari nilai investasi yang ditanamkan.
Logika kapitalisme yang diterapkan lainnya yaitu sumber pemasukan Negara didapatkan dari pinjaman dan pajak, memperbolehkan kepemilikan umum dikelola oleh kepemilikan individu/swasta. Hal ini dapat kita lihat dari peran pajak sebagai fungsi budgeter dan fungsi regulator. Dalam hal ini, perusahaan swasta dibebani untuk memiliki tanggung jawab sosial dan ekonomi.
Pada konteks Indonesia, cengkeraman Kapitalisme (neoliberal) ini semakin kuat dengan melihat perkembangan APBN dari tahun ke tahun; secara kuantitas terjadi peningkatan jumlah penerimaan negara dari sektor pajak. Tahun, 1989, misalnya sumber pendapatan negara yang berasal dari Pajak masih sekitar 51%. Namun, tahun 2006 pendapatan negara dari pajak meningkat menjadi 75%; sisanya dari pengelolaan SDA dan pinjaman. Menurunnya penerimaan bukan pajak adalah dampak kebijakan Pemerintah
Padahal jika kita mampu mengelola kekayaan dengan baik dan benar maka Negara tidak perlu mempersilahkan swasta untuk membantu melakukan pembangunan. Inilah penjajahan gaya baru yang belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat.
Dalam sistem ekonomi islam, infrastruktur Negara masuk dalam kepemilikan umum yang tidak diperbolehkan mengambil dana dari milik individu/swasta. Kepemilikan umum harus dikelola oleh Negara dan dibiayai dari dana milik umum, dan boleh bersumber dari kepemilikan Negara, tetapi Negara tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari pengelolaannya.
Pembangunan infrastruktur dalam Islam dibagi menjadi dua jenis. Pertama Infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh publik yang jika ditunda akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi publik. Kedua, Infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat tetapi tidak begitu mendesak jadi bisa ditunda pengadaannya, untuk infrastruktur kategori yang kedua tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana. Tidak boleh dibangun dengan jalan utang ke swasta ataupun dari pajak, hanya boleh dibangun jika dana di Baitul mall sudah mencukupi.
Islam memandang pembangunan infrastruktur yang merata dan adil di seluruh negeri. Fungsi yang sangat mulia yaitu sebagai sarana penguasa untuk melaksanakan kewajibannya menjadi pelayan bagi kebutuhan masyarakat di wilayahnya.
Wallahu a'lam bish shawwab.
*) Penulis adalah Aktivis Mahasiswa
Komentar