Indonesia Peringkat Kedua TBC di Dunia, Cerminkan Buruknya Pengurusan Negara
Oleh: Ririn Indani, SP (Aktivis Musmilah Kaltim)
Belum usai masalah stunting diatasi, peningkatkan jumlah penderita penyakit TBC di tengah masyarakat di Indonesia harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah.
Seperti diketahui, penyakit ini tidak hanya menyerang organ paru- paru, tetapi TBC juga bisa menyerang bagian tubuh lainnya seperti kulit, tulang dan kelenjar getah bening. Organisasi kesehatan dunia atau WHO menempatkan penyakit Tuberkulosis (TBC) menjadi penyakit yang berada di peringkat 1 sebagai penyakit menular dan paling mematikan (koran.pikiran-rakyat.com,15/03/23).
Salah satu penyakit yang sulit dideteksi, menjadikan penyebaran penyakit ini menjadi sangat cepat. Menyebar melalui udara, batuk dan bersin menyebabkan udara terkontaminasi dengan bakteri dan juga terhadap benda- benda disekitar tempat aktivitas masyarakat seperti fasilitas umum.
Menempati posisi urutan ke 2 di Internasional sebagai negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak, Kasus TBC di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Tercatat, pada tahun 2021, sebanyak 443.235 kasus, meningkat menjadi 717.941 kasus pada tahun 2022. Sementara untuk tahun 2023 ada 118.438 kasus. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, dr Imran Pambudi pada konferensi pers daring menyampaikan, kasus TBC di Indonesia paling banyak disumbang oleh mereka yang bekerja di antaranya sebagai buruh sebanyak 54.887 kasus (cnnindonesia.com,18/03).
Fakta ini menunjukkan aspek sosial dan ekonomi sangat berpengaruh pada kenaikan jumlah penderita TBC di Indonesia. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan sulitnya mencari pekerjaan yang layak, menjadi salah satu faktor pendukung meningkatnya jumah penderita TBC di Negeri ini. Masalah ini pun selasar dengan masih rendahnya taraf kemampuan ekonomi masyarakat di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan harian dalam aspek pemenuhan asupan gizi yang seimbang dan kesadaran akan pentingnya kesehatan. Biaya hidup yang cenderung mengalami peningkatan, tak sejalan dengan upah gaji yang diterima pekerja yang bekerja disektor informal yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Ironi nya masalah ini juga berdampak pada masalah tumbuh kembang dan kesehatan bayi, balita dan anak- anak. Meskipun TBC pada anak tidak menular, tetapi hal ini menunjukkan masih jauhnya anak- anak hidup dari kata sejahtera. Daya tahan tubuh yang lemah, menyebabkan munculnya masalah kesehatan lain yang akan mempengaruhi proses tumbuh kembang pada anak dikemudian hari, seperti stunting atau gagal tumbuh pada anak.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan, harus berkomitmen dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap kasus TBC ini ditengah - tengah masyarakat. Melihat bagaimana kasus ini menjadi satu komponen masalah yang kompleks dan saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Tidak hanya melakukan penyadaran terhadap masyarakat atau hanya memberikan jaminan kesehatan saja, Negara haruslah hadir secara penuh untuk mengurusi seluruh urusan rakyatnya. Ironinya sistem sekuler kapitalis yang menjadi asas pengaturan urusan saat ini, tidak menjadikan urusan rakyatnya menjadi suatu kewajiban bagi Negara yang bahkan menjadikan orang sakit sebagai komoditas dan dikapitalisasi.
Jauh berbeda dengan sistem saat ini, Islam yang menjadi asas dalam bernegara hadir untuk mengurusi segala urusan rakyatnya, termasuk dalam melakukan penanggulangan terhadap penyakit menular seperti TBC saat ini. Negara berkewajiban melaksanakan berbagai upaya dan langkah yang komprehensif untuk menanggulangi akar masalah secara tuntas, melalui pendidikan dan pelayanan kesehatan yang diberikan secara gratis, memenuhi kebutuhan dasar rakyat, yakni sandang, pangan dan papan secara layak untuk mendapatkan gizi yang cukup melalui sistem kesehatan yang handal yang ditopang oleh sistem politik dan ekonomi berdasarkan Islam.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Komentar