Masalah Korupsi Ini Solusinya
Oleh: Rindi Antika (Aktivis Dakwah, Anggota Komunitas Smart With Islam)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencekal 10 tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020-2022 ke luar negeri.
Semua nama tersebut tercantum dalam sistem daftar pencegahan usulan KPK, berlaku sampai dengan 1 Oktober 2023, ujar Subkoordinator Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Achmad Nur Saleh ketika dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Permintaan tersebut menyusul penetapan 10 tersangka oleh KPK dalam penyidikan kasus dugaan korupsi tukin pegawai di Kementerian ESDM pada tahun anggaran 2020—2022.
Korupsi merupakan musuh bersama semua masyarakat, sistem dan ideologi. Korupsi telah dianggap sebagai salah satu musuh besar kemanusiaan. Di negara mana pun, pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda besar negara.
Korupsi dianggap kejahatan luar biasa. Karena itu memberantas korupsi tentu memerlukan upaya yang juga luar biasa untuk dilakukan.
Salah satu bentuk upaya pemerintah dalam memberantas korupsi baru baru ini dengan melakukan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.
Meskipun RUU Perampasan Aset atau yang dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Melawan Korupsi. Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Namun, hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.
Sistem Sekulerisme Penyebab Korupsi
Melihat gurita kasus korupsi, dan kuatnya sekulerisme merasuki negara ini, muncul pertanyaan apakah pengesahan RUU perampasan aset mampu mencegah korupsi.
Nyatanya Jauh panggang Daripada api, yang bisa dibilang sangat mustahil jika korupsi sirna dengan RUU tersebut.
Pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh sistemnya. Pemberantasan korupsi akan terus menjadi harapan kosong di dalam sistem politik sekular demokrasi yang korup saat ini.
Sistem Yang Anti Korupsi
Karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dengan meninggalkan sistem yang terbukti korup dan gagal memberantas korupsi. Lalu diikuti dengan mengambil dan menerapkan sistem yang benar-benar anti korupsi. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam.
Dalam sistem Islam tidak akan ada politik biaya tinggi. Celah bagi kolusi dan upeti dalam pemilihan pejabat juga akan tertutup sama sekali. Tidak seperti sistem sekarang ini.
Dalam sistem Islam, hukum juga tidak bisa diutak-atik. Apalagi ditetapkan sesuka hati oleh penguasa. Sebabnya, hukumnya adalah hukum Allah SWT. Bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah yang di-istinbath dengan istinbath syar’i yang sahih. Dalam sistem Islam, perubahan hukum atau UU untuk melemahkan pemberantasan korupsi, termasuk melemahkan lembaga pemberantas korupsi, tidak akan terjadi. Tentu masih banyak lagi aspek mendasar dalam sistem Islam yang menjamin sistem ini benar-benar anti korupsi.
Adapun secara praktis, pemberantasan korupsi dalam sistem Islam di antaranya dilakukan melalui beberapa upaya berikut ini.
Pertama: Penanaman iman dan takwa, khususnya kepada pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi.
Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘amil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, “Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).
Kedua: Sistem penggajian yang layak sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup.
Ketiga: Ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul serta penerapan pembuktian terbalik. Rasul saw. bersabda:
Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
Berdasarkan hadis ini harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb), merupakan harta ghulul dan hukumnya haram.
Hadis ini mengisyaratkan: Pendapatan pejabat dan aparat hendaknya diungkap secara transparan sehingga mudah diawasi. Harta pejabat dan aparat harus dicatat, bukan hanya mengandalkan laporan yang bersangkutan. Harta kekayaan pejabat itu harus diaudit. Jika ada pertambahan harta yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa, hartanya yang tidak wajar disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas negara.
Keempat: Hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta’zîr. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor.
Perlakuan itu bukan hanya diterapkan kepada diri pejabat, tetapi bisa juga diterapkan kepada orang-orang dekatnya. Ini sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dan disetujui oleh para Sahabat. Pencatatan kekayaan, pembuktian terbalik dan sanksi, termasuk pemiskinan yang memberikan efek jera dan gentar ini, sangat efektif memberantas korupsi.
Komentar