UU Ciptaker Cacat, Apa Solusinya?
OPINI – Manusia tidak hidup sendirian, walaupun ia terlahir ke bumi sendirian dan pergi dari bumi sendirian. Di dunia, manusia memiliki lingkungan sosial, disana turut hadir peraturan-peraturan sosial yang mengikat untuk dijalankan, baik ketika berkeluarga, berkomunitas, bahkan bekerja sekalipun, tetap terikat undang-undang yang menjamin keberlangsungan hidup manusia, berstandar sejahtera, aman dan damai.
Jika terciptanya undang-undang visi mulianya adalah kesejahteraan, bagaimana dengan undang-undang yang membuat gaduh, rusuh, resah dan masalah?
Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (disingkat UU Ciptaker atau UU CK) adalah undang-undang di Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020 dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah. Karena mencakup banyak sektor, UU ini juga disebut sebagai undang-undang sapu jagat atau omnibus law.
Undang-Undang Cipta Kerja menuai kritik karena dikhawatirkan akan merugikan hak-hak pekerja serta meningkatkan deforestasi di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan.
Rangkaian unjuk rasa untuk menolak undang-undang ini masih berlangsung dan menuntut agar undang-undang ini dicabut.
Apa saja kerugian yang dapat dialami buruh dan perempuan dalam UU Cipta Kerja ini? 1. Waktu kerja dan lembur lebih panjang, 2. Waktu libur dikurangi, 3. Upah minimum hilang, 4. Perhitungan upah berubah, 5. Upah Cuti Haid dan Melahirkan akan hilang, 6. Cuti panjang hilang, 7. PHK sepihak dipermudah, 8. Jumlah pesangon dikurangi
Mahkamah Konstitusi (MK) pun memutuskan Undang-Undang (UU Ciptaker) inkonstitusional bersyarat, harus ada perubahan yang diberi tenggat 2 tahun.
Keputusan ini menegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya merespon tuntutan penolakan rakyat dengan menuntut pemerintah merevisi, bukan mencabut UU yang cacat tersebut, seakan UU cacat ini masih dalam proses negosiasi.
Ini adalah bukti bahwa mahkamah konstitusi (MK) tidak bisa diharapkan menjadi tempat bergantung untuk mendapat keadilan dan mahkamah konstitusi (MK) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rezim pro kapitalis.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan pihaknya dan pemerintah bakal segera menggelar rapat kerja (raker) untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-undang Cipta Kerja. (cnnindonesia.com, 30/11/2021).
Mahkamah konstitusi (MK) sebelumnya menolak sebagian gugatan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diajukan sejumlah elemen buruh.
Namun, Mahkamah memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun ke depan.
Apabila dalam ketentuan waktu itu tidak menyelesaikan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi batal (inkonstitusional) secara permanen.
Bandingkan dengan mahkamah mazhalim dalam Islam yang membela kebenaran dan memenangkan kemaslahatan publik serta bersikap tegas terhadap pembuat hukum (hukkam) yang zhalim.
Mahkamah mazhalim memiliki wewenang mempertimbangkan tindak kezhaliman aparat pemerintahan maupun penyimpangan khalifah, baik yang berhubungan dengan orang-orang tertentu dalam aparat pemerintahan maupun yang berhubungan dengan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemimpin negara (khalifah) terhadap hukum-hukum yang berlaku.
Mahkamah Mazhalim bisa menjatuhkan vonis dalam perkara kezhaliman begitu perkara itu terjadi, tanpa membutuhkan syarat apapun, baik menyangkut tempat, waktu, ruang sidang pengadilan maupun syarat-syarat yang lain.
Dan setiap orang berhak mewakilkan orang lain/ pengacara dalam suatu perkara perselisihan dan membelanya.
Hak tersebut mencakup semua orang, baik orang Islam maupun orang non-Islam, laki-laki maupun wanita, tanpa ada perbedaan antar pihak yang diwakili dan pihak yang mewakili.
Pihak yang diwakili boleh memberi upah/ bayaran dan pihak yang mewakili berhak mendapat upah, sesuai dengan kesepakatan antara keduanya.
Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan delapan poin dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak buruh.
Sedangkan dalam Islam, para ulama menyebutkan, perkara yang mengandung bahaya, baik perbuatan atau benda yang mengandung bahaya, itu wajib dihilangkan.
Sehingga sudah seharusnya anggota dewan yang terhormat, mereka memberikan manfaat, memberikan maslahat dalam menetapkan atau mengesahkan Undang-Undang yang akan membawa maslahat bagi rakyat banyak.
Namun saat ini, mereka telah mengesahkan Undang-Undang yang akan membahayakan kehidupan masyarakat dan menyulitkan para buruh.
Untuk perkara ini dapat disimpulkan bahwa "Undang-Undang Cipta Kerja itu hukumnya jelas haram.” Dan sudah selayaknya kita terus mengupayakan agar UU cacat ini di-inkonstitusional-kan secara permanen.***
Komentar